Latar belakang Persatuan Jesus

Penubuhan

Pada 15 Ogos 1534, Ignatius Loyola dan enam rakan segurunya (Francis Xavier, Alfonso Salmeron, Diego Laynez dan Nicolas Bobadilla dari Sepanyol, Pierre Favre dari Perancis dan Simão Rodrigues, orang Portugis)[3][9][10][11] bertemu di Montmartre di luar Paris, kemungkinan dekat Kapel St. Denys, Rue Antoinette, pada masa kini.[6][7] Mereka mendirikan Persatuan ini untuk "mengemban pelayanan dan misi di Jerusalem, atau untuk pergi ke mana pun juga tanpa bertanya, menaati perintah Paus."[3][6][10]

Pada 1537 mereka pergi ke Italia untuk mendapatkan persetujuan Paus atas ordo mereka.[3][5]Paus Paulus III memberikan mereka persetujuan dan mengizinkan mereka untuk ditahbiskan menjadi pastor dalam Gereja Katolik.[3] Mereka menerima tahbisan di Venezia oleh Uskup Arbe (24 Jun).[3][7] Mereka mengabdikan diri menyebarkan ajaran Katolik dan kerja amal di Itali memandangkan perjalanan mereka ke Yerusalem terhalang oleh meletusnya kembali perang antara pihak-pihak Empayar Suci Rom, Negeri-Negeri Paus, Republik Venezia, dan Kerajaan Uthmaniyah.[3]

Ignatius bersama Favre dan Laynez, pergi ke Roma pada Oktober 1538, untuk mendapatkan persetujuan Paus atas konstitusi ordo baru tersebut.[4][5] Sebuah dewan Kardinal memberikan laporan yang positif bagi usul perlembagaan yang diajukan, dan Paus Paulus III mengukuhkan ordo ini melalui Bulla paus Regimini militantis Ecclesiae (27 September 1540), namun keanggotaan persatuan ini dihadkan kepada membatasi jumlah anggotanya 60 orang.[5] Batasan ini dihapuskan melalui bulla Injunctum nobis (14 Maret 1543). Ignatius dipilih menjadi pemimpin umum pertama.[5] Dia mengirim para sahabatnya sebagai misionaris ke seluruh Eropa untuk mendirikan sekolah, kolese, dan seminari.[5]

Ignatius menulis Konstitusi Persatuan Yesus yang disahkan pada 1554.[4][5] Konstitusi ini menciptakan organisasi dengan kepemimpinan tunggal dan menetapkan penyangkalan diri dan ketaatan mutlak kepada Paus dan para pemimpinnya.[4] Prinsip utamanya menjadi Motto Yesuit: Ad Maiorem Dei Gloriam ("demi lebih besarnya kemuliaan Allah").[3][5][9]

Perkembangan

Persatuan Yesus didirikan bertepatan dengan Reformasi Katolik (Kontra-Reformasi), gerakan dalam Gereja Katolik yang ditujukan untuk melawan Reformasi Protestan (yang ajarannya menyebar ke seluruh Eropa yang beragama Katolik).[5][9] Mereka melaksanakan ketaatan total kepada Kitab Suci dan doktrin Katolik.[5][9] Ignatius pernah menyatakan dalam Latihan Rohaninya: "Saya percaya bahwa putih yang saya lihat adalah hitam bila hierarki Gereja mendefinisikan begitu."[5]

Ignatius Loyola dan para Yesuit pengikutnya percaya bahwa pembaruan Gereja harus dimulai dengan pertobatan hati.[4][8] Salah satu sarana utama untuk menghasilkannya adalah Latihan Rohani yang disebut retret Ignasian.[4] Selama empat minggu dalam kebisuan orang menjalani meditasi terpimpin mengenai hidup Kristus.[4] Pada masa itu, mereka secara teratur bertemu dengan seorang pembimbing rohani yang menolong mereka memahami panggilan atau pesan Tuhan melalui meditasi mereka.[4] Retret ini mengikuti pola Penyucian-Pencerahan-Kesatuan sesuai dengan tradisi mistik Yohanes Kasianus dan para Bapa Padang Pasir.[4] Ignatius menciptakan inovasi yang membuat mistisisme kontemplatif ini bisa diikuti oleh semua orang, dan menggunakannya sebagai sarana membangun kembali kehidupan rohani Gereja.[4][5]

Yesuit juga mendirikan banyak sekolah, yang menarik anak para elite karena metode pengajaran mereka yang maju dan moral yang tinggi.[5][6] Sekolah Yesuit memainkan peranan penting dalam memenangkan beberapa negara Eropa kembali ke Katolik, setelah beberapa lama didominasi oleh Protestan, terutama Polandia [6][9]

Sesuai dengan tradisi Katolik Roma, mereka mengajarkan penggunaan upacara dan dekorasi di dalam ritual dan Devosi Katolik.[6] Karena itu, banyak Yesuit perdana yang menonjol dalam seni visual dan pertunjukan maupun dalam musik.[6]

Kaum Yesuit berhasil mendapatkan pengaruh yang menonjol pada Periode Modern Awal karena para imam Yesuit sering bertindak sebagai "konfesor" raja-raja pada masa itu.[4][5] Mereka juga berperan penting dalam Reformasi Katolik dan dalam berbagai misi Katolik karena struktur mereka yang kendur (tanpa harus tinggal dalam suatu komunitas, melakukan "doa ofisi" bersama, dan lain-lain) membuat mereka lebih fleksibel untuk memenuhi kebutuhan orang-orang pada masa itu.[4][5]

Penyebaran ajaran ke seluruh dunia

Misi awal di Jepang dirasakan positif oleh pemerintah Jepang sehingga pemerintah memberikan kaum Yesuit tanah feudal Nagasaki pada 1580.[4][5][15] Namun hak ini dihapus pada 1587, karena pemerintah Jepang khawatir atas berkembangnya pengaruh Yesuit di sana.[4][5][15]

Dua misionaris Yesuit, Gruber dan D'Orville, mencapai Lhasa di Tibet pada 1661.[4]

Misi Yesuit di Amerika Selatan menimbulkan kehebohan hebat di Eropa, terutama di Spanyol dan Portugal, karena mereka dianggap mengganggu upaya penjajahan pemerintah kerajaan.[4][5] Kaum Yesuit seringkali menjadi satu-satunya kekuatan yang menghalangi perbudakan orang Indian.[4][5] Di banyak tempat di Amerika Selatan terutama wilayah yang kini dikenal sebagai Brasil dan Paraguay mereka membentuk pemerintahan kota Indian-Kristen yang disebut reduksi (bahasa Spanyol: Reducciones).[4][5] Ini adalah masyarakat teokrasi yang dianggap ideal.[4] Salah satu sebab terjadinya tekanan pada kaum Yesuit saat itu adalah bahwa mereka banyak menghalangi perbudakan orang Indian oleh bangsa Spanyol dan Portugis.[4][5]

Para Jesuit, seperti Manoel da Nóbrega dan José de Anchieta membentuk beberapa kota di Brasil pada abad 16, termasuk São Paulo dan Rio de Janeiro, dan sangat berpengaruh dalam pasifikasi, dan pendidikan suku-suku bangsa Indian.[4][5]

Misi Yesuit di Tiongkok menyebabkan munculnya pertikaian ritus di awal abad 18.[4][5][15]

Para sarjana Yesuit yang bekerja dalam misi asing ke masyarakat kafir memainkan peranan penting dalam memahami bahasa mereka yang tidak dikenal.[4][5] Merekapun berusaha untuk memproduksi tata bahasa dan kamus bahasa tersebut dalam huruf Latin, suatu usaha pertama yang terorganisasi dalam linguistik.[4][5] Ini dilakukan, contohnya, untuk bahasa Jepang dan Tupi-Guarani (sebuah bahasa masyarakat pribumi di Amerika Selatan).[4][5][15]

Periode kesulitan

Lihat artikel Tekanan terhadap Yesuit.

Tekanan terhadap Yesuit di Portugal, Prancis dan Kerajaan Dua Sisilia, Parma dan Spanyol pada 1767 adalah masa sulit bagi Persatuan ini, Paus Clement XIII.[4][5] Menyusul keputusan yang ditandatangani oleh Paus Clement XIV pada Juli 1773, Yesuit ditekan di semua negara (kecuali Rusia, karena Ortodoks Rusia menolak mengenal otoritas Paus).[4][5] Karena jutaan Katolik (termasuk banyak Yesuit) tinggal di Polandia bagian barat dan Kekaisaran Rusia, Persatuan ini berhasil mempertahankan keberadaannya dan menjalankan pekerjaannya dalam masa penekanan.[4][5]

Persatuan ini dipulihkan kembali oleh Paus pada 1814, lalu terjadilah pertumbuhan yang luar biasa seperti yang diperlihatkan oleh begitu banyaknya kolese dan universitas Yesuit yang didirikan.[4][5] Meskipun banyak dipertanyakan, kaum Yesuit biasanya mendukung otoritas kepausan dalam Gereja dan beberapa anggotanya terkait dengan gerakan Ultramontanis dan deklarasi Infalibilitas kepausan pada 1870.[5]

Yesuit kini

Yesuit pada masa kini merupakan ordo keagamaan terbesar di Gereja Katolik.[4][5] Anggotanya lebih dari 20.000 orang dan melayani di 112 negara di enam benua.[4][5] Pemimpin Umum Yesuit saat ini adalah Adolfo Nicolás.[5][6] Ciri pelayanan Persatuan Yesus adalah bidang misi, hak asasi manusia, keadilan sosial, dan pendidikan tinggi (utama).[4][5][6] Persatuan Yesus menyelenggarakan kolese dan universitas di berbagai negara dan di seluruh dunia, seperti Filipina, India, dan Indonesia.[4][5] Di Amerika Persatuan, Yesuit mengelola lebih dari 50 kolese, universitas, dan sekolah menengah.[4][5]